Membaca artikel di New York Times mengenai wawancara CEO baru Boeing
berkenaan dengan krisis akibat kecelakaan pesawat 737 max, saya jadi terpikir
renungan yang mungkin menarik untuk dibagi.
Di salah satu bagian artikel, CEO baru itu menyalahkan pilot Indonesia
dan Etiopia karena tidak memiliki pengalaman yang memadai sehingga menyebabkan
kematian ratusan orang akibat kegagalan perangkat lunak pesawat 737 max.
Sebagai praktisi K3 Indonesia, pernyataan itu selain menyinggung, juga
menunjukkan kesalahan umum yang sering kita temukan ketika ada krisis atau
kecelakaan: menyalahkan faktor manusia.
Mudah dan cepat. Kesimpulan yang tidak perlu dicari lewat proses
investigasi.
Menyalahkan pekerja/manusia pada kasus Boeing menurut saya sangatlah
tidak bermoral/tidak etis, karena menyalahkan para korban yang telah tewas dan
tidak menunjukkan sensitifitas pada keluarga yang ditinggal.
Tindakan yang juga secara fundamental salah karena beberapa alasan.
Pertama,
hanya fokus pada pekerja di lini pekerjaan (sharp
end) tidak menelusuri kegagalan yang terjadi pada pekerja di proses
pekerjaan sebelumnya (blunt end).
Kenapa tidak meneliti pada kesalahan desain, bagaimana proses tersebut
dilakukan?
Jika kita mau jujur, mungkin akan ketemu banyak hal. Seperti pada kasus
Boeing, isu potensi kegagalan ini sebetulnya sudah diangkat para
engineer.
Bagaimana tekanan kepentingan para manajer atas kegagalan desain
tersebut? Proses pemilihan desain akhir yang disetujui?
Jika mau obyektif, pasti ada kontribusi pada saat pengambil keputusan,
penentu akhir berhenti/lanjutnya suatu proyek.
Kedua,
manusia itu rentan berbuat salah (fallible).
Departemen Energi Amerika (DOE) memasukkan hal itu sebagai poin pertama
dalam prinsip kinerja manusia (human
performance): People are fallible,
and even the best people make mistakes.
Prof James Reason (penemu Swiss Cheese model) juga mengingatkan hal yang
serupa: the best people can make the
worst mistakes.
Makanya penting bagi praktisi K3 untuk mengerti ilmu ergonomi, disiplin
ilmu yang mencoba menyesuaikan tempat kerja ke pekerja (bukan sebaliknya,
pekerja ke tempat kerjanya). Memahami kekuatan dan keterbatasan manusia, serta
membuat tempat kerja (desain, peralatan, display, dst) yang mengakomodir hal
tersebut.
Awal ilmu ergonomi berkembang dari industri penerbangan (militer).
Sehingga amat sangat disesalkan sekali pernyataan yang memojokkan pilot bisa
keluar dari petinggi di industri penerbangan.
Ketiga,
pimpinan perlu jujur mengakui ada kesalahan yang mereka buat, dan berangkat
dari situ untuk melakukan perbaikan.
Ketika Boeing malah menuduhkan kesalahan pada pihak-pihak di luar mereka,
sedikit yang akan jadi perbaikan. Lihatlah ke dalam diri, dan berlakulah jujur
(just culture).
Cara pandang lama yang mengalihkan tanggung jawab ke orang lain (terutama
ke pekerja di lini pekerjaan/front
line/sharp end), menyalahkan mereka, bahkan membuat/memaksa mereka
bertanggung jawab atas sedikit hal yang bisa mereka pengaruhi adalah salah,
tidak memberikan banyak perbaikan, dan tidak sesuai perkembangan zaman.
Pekerjaan pada zaman ini semakin rumit, dinamis dan penuh
ketidakpastian.
Ada banyak hal yang sepertinya mudah dilakukan, tapi sebetulnya sangat
rumit untuk dipahami.
Ambil contoh sehari-hari pada penggunaan video call, kita mahir dan mudah melakukannya, tapi sangatlah
mungkin kita tidak paham mekanisme kerjanya 100%. Bagaimana perubahan signal
suara dan gambar menjadi paket data digital, penggunaan teknologi Voice over
Internet Protocol (VoIP), pengaruh jaringan broadband,
hubungannya dengan IP address, dst.
Dalam pekerjaan pun demikian.
Banyaknya pihak yang terlibat juga bisa memberikan pengaruh baru yang
berbeda/tidak diduga sebelumnya.
Belum lagi ditambah kondisi kerja yang dinamis, dapat berubah
sewaktu-waktu, tidak sesuai atau tidak ada di text-book (prosedur, SOP, rencana kerja, manual, dll), atau
keterbatasan sumber daya di lapangan. Semua itu semakin menambah kompleksitas
pekerjaan.
Maka tidaklah heran kalau kegagalan itu menjadi suatu hal yang
normal/wajar. Charles Perrow bahkan membuat Teori Kecelakaan Normal (normal accident theory) di 1984.
Yang kita perlu lakukan bukanlah menyalahkan orang, tapi menerima
kegagalan tersebut sebagai pembelajaran untuk perbaikan.
Bukan saatnya lagi ditanya siapa yang salah, dia berbuat apa, apa hukuman
yang tepat untuknya.
Tapi tanyakan, siapa yang terluka, apa kebutuhannya, dan bagaimana kita
bisa memenuhi kebutuhan tersebut.
Ini cara pandang restorative just
culture (budaya adil yang membangun), sedang pola pertanyaan sebelumnya
adalah cara pandang retributive just
culture (budaya "adil" yang setimpal).
Restorative just culture harus
menjadi bagian dari organisasi yang ingin perbaikan berkelanjutan, menjadi
organisasi pembelajar, dan berdaya saing kompetitif dengan tuntutan bisnis era
sekarang.
Sebagai penutup, cara pandang kita atas kinerja manusia perlu berubah,
agar kebijakan, program, tindakan dan ucapan yang akan kita keluarkan bisa
menjadi hal yang positif, konstruktif, dan produktif.
---000---
Depok, 30 Mei 2020
Syamsul Arifin, SKM, MKKK. Grad IOSH.
Praktisi K3LH.
www.syamsularifin.org
Referensi:
-
The New York Times. 2020. ‘It’s More Than I Imagined’: Boeing’s New C.E.O. Confronts Its
Challenges. www.nytimes.com/2020/03/05/business/boeing-david-calhoun.amp.html
-
Sidney Dekker. 2014. The Field Guide to Understanding 'Human Error'
-
Sidney Dekker. 2016. Just Culture: Restoring Trust and Accountability in Your Organization
-
Sidney Dekker. 2019. Foundations of Safety Science
-
Department of Energy. 2009. Human Performance Improvement Handbook - Volume 1: Concepts and
Principles
-
Charles Perrow. 1999. Normal Accidents: Living with High Risk Technologies
-
The Verge. 2019. The many human errors that brought down the Boeing 737 Max.
https://www.theverge.com/platform/amp/2019/5/2/18518176/boeing-737-max-crash-problems-human-error-mcas-faa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar