28 Desember 2024

Safety Differently, Melihat Keselamatan dari Perspektif Berbeda

If you change the way you look at things, the things you look at change (Wayne Dyer). Change your thoughts and you change your world (Norman Vincent Peale). Cara pandang seseorang (paradigma, belief, sudut pandang, pola pikir, pengetahuan) akan mempengaruhi bagaimana ia menginterpretasikan dunia (worldview), memproses informasi, berpikir (think), merasa (feel), bersikap (attitude), dan bertindak (act) atau mengambil keputusan. 

Di pertengahan abad 20, ilmu Human Factors (HF) atau ergonomi muncul, menghadirkan pergeseran (shifting) paradigma yang signifikan dalam keselamatan kerja. Sebelumnya, faktor manusia sering dianggap sebagai penyebab masalah keselamatan, sehingga program intervensi/ pengendalian fokus pada perilaku pekerja.

Sebelum kehadiran ilmu HF, praktik keselamatan merujuk ke ilmu scientific management atau Taylorisme yang dikembangkan oleh Frederick Winslow Taylor (1910) dengan melakukan analisis dan sintesa alur langkah pekerjaan, kemudian menentukan satu cara terbaik dalam bekerja agar pekerjaan dapat dilakukan secara efisien dan selamat. Untuk itu, pekerja harus diberitahu, diawasi, dan dimonitor kepatuhannya terhadap prosedur kerja yang sudah disepakati. Pendekatan ini memiliki kritik, terkadang ketaatan terhadap peraturan atau cara kerja membuat pekerjaan tidak dapat diselesaikan atau mengalami kegagalan/kecelakaan.

Contoh tragis hal itu bisa dilihat pada kejadian ledakan anjungan lepas pantai Piper Alpha di North Sea (1988). Profesor James Reason menyebut fenomena tersebut sebagai mistaken compliance (mispliance). Prosedur darurat yang ada ketika itu mengharuskan pekerja berkumpul (mustering) di area restoran akomodasi (galley). Sayangnya, tempat itu justru menjadi jalur proyeksi (line of fire) bola api ledakan (fire ball). Hampir sebagian besar pekerja yang mematuhi prosedur itu, berakhir tragis meninggal dunia.

Agar dapat memahami pekerjaan dengan lebih baik, kita perlu menyadari ada beberapa perspektif dalam melihat pekerjaan. Bisa ditelisik dari perspektif pekerjaan dalam bayangan/benak/pikiran (work as imagined), penerapan pekerjaan secara aktual di lapangan (work as done), juga dari sisi pekerjaan dalam tulisan (work as prescribed), dan dari sudut pandang pekerjaan ketika disampaikan/diceritakan (work as disclosed). Ulasan lebih jauh mengenai perbedaan keempatnya dapat dibaca pada majalah Katiga edisi Juli-Agustus 2024 berjudul ‘Memahami Peran (dan Keterbatasan) Prosedur dalam Kompleksitas Sistem Kerja’.

Di samping Taylorisme, di masa sebelum HF, praktik keselamatan dipengaruhi signifikan oleh ‘efek atau teori domino’ yang dikembangkan oleh Herbert W Heinrich. Bukunya yang berjudul Industrial Accident Prevention (1931) menjadi rujukan awal untuk memahami kecelakaan. Konsep Heinrich menyatakan bahwa kecelakaan merupakan akibat dari urutan berurutan dari lima hal, sehingga fokus pencegahan kecelakaan akan efektif jika menyasar pada faktor yang ada di tengah urutan, yaitu tindakan berisiko/tidak selamat dan bahaya fisik & mekanik. Sampai saat ini, pengaruh pola pikir Heinrich bisa kita lihat pada program Behavior-Based Safety (BBS).

Belakangan ini, para praktisi dan ilmuwan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) mengkritik teori Henrich, salah satunya Fred Manuele yang menerbitkan buku ‘Heinrich Revisited: Truisms or Myths’ (2002). Ulasan mengenai kritik ini dapat disimak pada majalah Katiga edisi Des 2023-Jan 2024 berjudul ‘Tinjauan Kritis: Saatnya Move-On dari Teori Heinrich’.

Dari human error ke system induced error

Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, dominasi pendekatan psikologi behavioristik (program BBS) mulai memudar. Para pemikir dan praktisi K3 menyadari bahwa kesalahan manusia merupakan hal yang normal dengan berkembangnya kompleksitas sistem kerja. Hal itu didukung oleh perkembangan ilmu human factors (1940-an) yang menggunakan perspektif kesisteman dan interkoneksi yang terjadi di dalam sistem kerja (manusia, pekerjaan, dan kondisi lingkungan/organisasi).

Studi kasus mengenai hal itu bisa dilihat pada kecelakaan yang terjadi sewaktu Perang Dunia ke-II, dimana angkatan udara Amerika sangat menguasai pertempuran di udara, tapi mengalami banyak kegagalan ketika mendaratkan pesawat.

Ketika hendak mendarat, Pilot seharusnya menurunkan roda pesawat dan mengurangi kecepatan dengan cara menaikkan arah sayap. Namun yang sering terjadi di lapangan, pilot justru menaikkan roda pesawat dan menurunkan arah sayap, karena sering tertukar antara tuas roda dan tuas sayap yang memiliki bentuk serupa. Akibatnya, pesawat melaju kencang tanpa roda ketika mendarat, bergesekan dengan landasan, menimbulkan percikan api, memantik bahan bakar atau amunisi yang dibawa, sehingga menyebabkan kebakaran yang menghanguskan.

Di 1943, Alphonse Chapanis meneliti mengapa hal ini terjadi. Ditemukan bahwa kegagalan pendaratan ini dialami hampir seluruh pilot, terlepas lama atau sedikitnya pengalaman dan usia yang dimiliki pilot. Untuk itu, istilah yang lebih tepat digunakan bukanlah human error, tapi system induced error akibat design error atau kesalahan desain kokpit. Kesalahan (error) ini dapat direduksi signifikan dengan memodifikasi desain tuas sayap dan roda di kokpit sehingga lebih logis dan mudah dibedakan.  Saat ini, rekomendasi Chapanis dipergunakan secara umum dalam mendesain tuas kokpit pesawat.

James Reason mengatakan kalau kita tidak bisa mengubah sifat alamiah manusia, tapi kita bisa mengubah kondisi kerja yang nantinya akan mempengaruhi/menentukan tindakan pekerja (you cannot change the human condition, but you can change the conditions in which humans work).

Kita tidak akan bisa menghindari kesalahan manusia. Yang bisa kita lakukan adalah membuat sistem kerja lebih toleran terhadap kesalahan (error-tolerant systems) atau membuat sistem kerja yang resisten terhadap kesalahan (error-resistant systems).

Kompleksitas pekerjaan

Perkembangan industri telah merevolusi/merubah operasional dan cara memproduksi barang secara fundamental, hal itu meningkatkan kerumitan-kompleksitas pekerjaan, membuat semakin rentan terjadinya kesalahan (error) di tempat kerja.

Era kebangkitan mesin (industri 1.0) mengawali revolusi industri, dimana penggunaan mesin uap mulai menggantikan tenaga manusia dan hewan pada abad ke-18, kemudian bergeser ke era kebangkitan otomatisasi (industri 2.0) dengan ditemukannya listrik dan bola lampu pijar pada awal abad ke-20. Selanjutnya ada era kebangkitan komputasi (industri 3.0) dengan hadirnya internet dan teknologi digital pada akhir abad ke-20. Dan saat ini, kita berada pada era kebangkitan internet (industri 4.0) dengan penerapan teknologi informasi dan komunikasi. Perbedaan ini tentunya menghadirkan tantangan tersendiri dalam pengelolaan keselamatan kerja.

Untuk menggambarkan tantangan dunia saat ini, digunakan terminologi VUCA yang merupakan singkatan dari Volatility (volatilitas), Uncertainty (ketidakpastian), Complexity (kompleksitas), dan Ambiguity (ambiguitas) yang menggambarkan lingkungan yang penuh dengan turbulensi, khususnya dalam konteks geopolitik dan bisnis.

Istilah VUCA pertama muncul di militer (1980-an), melebar cepat ke topik kepemimpinan (1990), dan mulai digunakan dalam subyek strategi bisnis pada awal 2000. Di 2020, istilah VUCA dianggap sudah tidak lagi mampu menggambarkan tantangan yang dipicu berbagai krisis dunia semisal perubahan iklim, pandemi, dan ketimpangan serta ketidakstabilan global. Jamais Cascio, mengusulkan terminologi BANI.

BANI merupakan singkatan dari Brittle (rapuh), Anxiety (cemas), Non-Linear (tidak linier), dan Incomprehensible (tidak dapat dipahami). BANI merupakan evolusi dari VUCA yang bertujuan untuk mengatasi kerapuhan, kecemasan, non-linearitas, dan inkonsistensi. Dalam perspektif BANI, tidak cukup hanya bertahan dan beradaptasi, tetapi juga harus mampu menjadi pionir perubahan. Sistem yang rapuh butuh resilience (ketangguhan), sistem yang cemas membutuhkan empati, sistem yang tidak linear memerlukan improvisasi, dan sistem yang tidak dapat dipahami mengharuskan adanya intuisi.

Jika praktisi K3 mencoba memecahkan masalah hari ini (today’s problem) dengan pola pikir –model, teori, dan metode- masa lalu (yesterday’s mindset), hanya akan menghasilkan kerumitan di masa depan (tomorrow’s complexity). Untuk itu, diperlukan sudut pandang baru dalam melihat keselamatan kerja.

Beberapa prinsip safety differently

Profesor Sidney Dekker dari Universitas Griffith Australia mengusung konsep ‘safety differently’ (melihat keselamatan dari perspektif berbeda). Istilah ‘safety differently’ lahir pada 2012 ketika beliau diminta pertimbangannya oleh sebuah organisasi yang kinerja keselamatannya tetap statis meskipun sudah semakin banyak birokrasi atau dokumentasi dan penaatan persyaratan regulasi-peraturan-prosedur kerja.

Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam perspektif yang berbeda ini. Berikut kita bahas beberapa diantaranya. Pertama, ada pergeseran paradigma dalam melihat pekerja/manusia. Pekerja harus dipandang sebagai sumber solusi yang harus diberdayakan, bukan sumber masalah yang harus dikekang. Clive Lloyd di buku Next Generation Safety Leadership (2020) menggambarkan secara apik perbedaan dampak jika menganggap pekerja sebagai masalah vs pekerja sebagai solusi.

 

Gambar 1. Alur manusia sebagai bahaya vs manusia sebagai solusi (Clive, 2020)


Kedua, keselamatan tidak sesederhana mematuhi peraturan/prosedur. Dengan berkembangnya kompleksitas interaksi sistem kerja, panduan kerja bukan hanya tidak akan pernah bisa sempurna, namun bisa juga menjadi bahaya (hazard). Untuk itu, diperlukan keseimbangan antara mematuhi prosedur tertulis dengan keberanian untuk mengambil risiko, berbelok arah, dan secara profesional beradaptasi di tengah keterbatasan sumber daya di tempat kerja untuk mencapai keselamatan operasional. 

Ketiga, belajar dari kesuksesan lebih penting ketimbang belajar dari kegagalan/kecelakaan. Fokus keselamatan kita perlu berpindah, dari terlalu detail atau fokus menganalisis kecelakaan, menjadi lebih fokus menginvestigasi kesuksesan (pekerjaan selamat atau tanpa celaka), agar dapat direplikasi atau diulang kesuksesannya di tempat lain atau di kemudian hari. Secara statistik juga perlu disadari bahwa frekuensi kecelakaan tidaklah sebanyak frekuensi kesuksesan atau keberhasilan dalam mencapai tujuan pekerjaan sehari-hari.

Gambar 2. Grafik pekerjaan sehari-hari (everyday works)


Sidney Dekker pernah bekerja sama dengan badan kesehatan Australia yang menaungi 25 ribu pekerja, data kecelakaan yang ada menunjukkan bahwa 1 dari 13 (7%) pasien yang dirawat mengalami kegagalan/kecelakaan dalam perawatan. Temuan investigasi menunjukkan bahwa hal itu terjadi karena adanya workarounds (mengakali kesulitan/penggunaan peralatan), shortcuts (mengambil jalan pintas), violations (pelanggaran), tidak mengikuti prosedur, kelalaian dan kesalahan, personil atau instrumen medis yang tidak bisa dicari/ditemukan, pengukuran yang tidak dapat diandalkan, teknologi yang tidak ramah pengguna, kekurangan pengawas, dan hambatan organisasional. 

Namun, ketika Dekker menanyakan ‘apa yang terjadi pada 12 dari 13 pasien (93%) yang selamat ketika masa perawatan’, ditemukan hal yang sama sebagaimana disebutkan di atas. Hal ini menunjukkan bahwa belajar dari kegagalan tidak lagi memiliki banyak manfaat, dan menganggap pekerja sebagai masalah yang harus dikendalikan -dengan cara meningkatkan surveilence/monitoring, kepatuhan, dan hukuman- tidak berpengaruh banyak untuk menurunkan angka kecelakaan.

Untuk itu, kalau ingin mengadopsi pemikiran safety differently, Sidney Dekker menyebutkan beberapa hal yang perlu diperkuat guna meningkatkan kapasitas keselamatan yang akhirnya akan mencegah kegagalan/kecelakaan, yaitu membangun lingkungan yang mendukung keanekaragaman opini dan menyuarakan perbedaan pendapat; selalu mendiskusikan risiko dan tidak menjadikan kesuksesan masa lalu sebagai jaminan keselamatan hari ini; menghargai dan menyerahkan pengambilan keputusan pada ahlinya; memberikan kemampuan untuk menghentikan pekerjaan; menghancurkan penghalang antara hirarki atasan-bawahan dan lintas departemen; tidak menunggu inspeksi atau audit untuk perbaikan berkelanjutan; dan membangun kebanggaan atas hasil pekerjaan.

Keempat, memperkuat aspek non-technical disamping technical pekerjaan. Di industri aviasi, setelah kecelakaan pesawat United Airlines 173, dipersyaratkan pelatihan Crew Resource Management (CRM), pelatihan ini membantu pilot dan kru kabin mengenali, menghindari dan menurunkan risiko pekerjaan dengan menitikberatkan topik pelatihan pada komunikasi interpersonal, kerja sama kelompok, pengelolaan human error, fatigue management, kepemimpinan, dan pengambilan keputusan di dalam kokpit pesawat. Aspek non-teknis ini mulai dipergunakan luas ke luar aviasi.

Penerapan Safety Differently

Dalam konteks yang sederhana, pembebasan peraturan yang semakin ketat untuk meningkatkan rasa kepemilikan dan berujung peningkatan efisiensi atau keselamatan bisa dilihat pada desain simpangan jalan yang diterapkan di beberapa negara Eropa.

Perempatan yang dihilangkan rambu, marka, pembatas/median jalan, dan pembeda antara jalur yang dipergunakan pejalan kaki, pesepeda, pemotor, pengendara mobil, ternyata membuat para pengguna jalan semakin berhati-hati ketika mendekati perempatan jalan, sehingga menurunkan angka kecelakaan dan dan menghilangkan kemacetan.

Dalam skala industri, salah satu perusahaan yang sudah menerapkan safety differently yaitu Mitchell Services, perusahaan kontraktor pengeboran di Australia. Perusahaan ini mengalami tantangan peningkatan angka kecelakaan pada kuartal keempat sehingga menginisiasi program ‘operasi homestretch’ (pekerjaan di babak akhir) untuk meningkatkan kinerja keselamatan dengan cara mengidentifikasi kesuksesan dan lebih banyak memanfaatkan keahlian-pengalaman pekerja.

Manajemen Mitchell Services juga menekankan komunikasi yang terbuka dan membangun kepercayaan antara pimpinan dan pekerja untuk membangun budaya keselamatan yang baik. Metode komunikasi kreatif mingguan dibuat utk meningkatkan partisipasi pekerja dan mengangkat pesan keselamatan dalam bentuk informal dan mudah dipahami.

Pendekatan baru ini berhasil memberikan penurunan yang signifikan pada laju kecelakaan, dengan angka Total Recordable Injury Frequency Rate (TRIR) turun sampai 58% dengan angka kecelakaan keseluruhan yang turun sampai 48%. Di samping itu, inisiatif ini membangun semangat kebersamaan dalam tim dan menumbuhkan kesadaran pekerja terhadap keselamatan kerja.

Epilog

Ilmu pengetahuan berkembang terus, lingkungan kerja bertambah kompleks, dan ada hal lain di samping faktor internal pekerja yaitu lingkungan fisik dan sosial yang juga mempengaruhi perilaku pekerja. Peran manusia diperlukan untuk mengisi gap ketidaksempurnaan sistem kerja, maka dari itu, Sudut pandang baru diperlukan untuk melengkapi praktik keselamatan yang ada/mengatasi masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan program konvensional.

 

---000---

 

Penyusun:

Syamsul Arifin, SKM. MKKK. Cert IOSH.

Praktisi K3 Migas

www.syamsularifin.org 

 

Referensi:

·       Dekker, Sidney. 2014. Employees, a Problem to Control or Solution to Harness? Majalah Professional Safety

·       Dekker, Sidney. 2019. Foundations of safety science: a century of understanding accidents and disasters. Taylor & Francis, CRC Press

·       Dekker, Sidney dan Todd Conklin. 2022. Do Safety Differently. Indie publisher

·       Hollnagel, Erik. 2014. Safety-I and Safety-II: The past and future of safety management. Ashgate

·       Josh Bryant. 2020. From the ‘how’ to the ‘what’ of Safety Differently - Mitchell Services Case Study. Diakses dari website SafetyDifferently.com

·       Lloyd, Clive. 2020. Next Generation Safety Leadership: From Compliance to Care. CRC Press

·       Provan, David, David Woods, Sidney Dekker, Andrew Rae. 2020. Safety II professionals: How resilience engineering can transform safety practice. Reliability Engineering & System Safety.


Artikel ini dimuat juga di majalah Katiga edisi November-Desember 2024

Postingan terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar