Dari tahun 1920, manajemen pengelolaan keselamatan kerja didominasi oleh langkah-langkah untuk mengendalikan perilaku pekerja. Scientific management, yang dikembangkan oleh Frederick Taylor, memegang peran kunci di periode ini.
Scientific management menerapkan metode ilmiah untuk menentukan cara yang paling efisien dalam menyelesaikan pekerjaan. Pekerja harus menaati satu-satunya cara kerja terbaik yang telah ditentukan untuk dapat memaksimalkan efisiensi dan keselamatan. Dasar pemikiran yang melandasi scientific management adalah keyakinan bahwa kendali penuh atas pekerja dapat dicapai melalui penaatan atau kepatuhan terhadap prosedur, pengawasan melalui hirarki organisasi, dan pemaksaan peraturan.
Mengikuti pola pikir Frederick Taylor, peraturan dan prosedur dianggap mengandung kebijaksanaan, pembelajaran dari pekerjaan terdahulu, dan panduan bagi semua pekerja. Hal itu dipercaya dapat memberikan ketertiban, keseragaman, dan prediksi yang lebih baik -inti dari strategi pengelolaan risiko dan pencegahan kecelakaan yang dipercaya ketika itu.
Pola pikir tersebut masih memberikan jejak yang mendalam dalam cara pandang keselamatan kerja sampai hari ini: pekerja harus diberitahu apa yang harus dilakukan agar dapat bekerja dengan efisien dan selamat.
Meskipun penerapan pengendalian administratif dalam keselamatan kerja telah membawa banyak manfaat, ada efek samping yang tidak diinginkan dari birokrasi Keselamatan (peraturan, liabilitas, kontrak kerja, surveillance, dan pengelolaan data) yang berkembang semakin pesat. Muncullah safety clutter, akumulasi birokrasi keselamatan yang tidak berkontribusi signifikan atau bermakna terhadap keselamatan operasi. Safety clutter ini tidak mampu untuk memprediksi kejadian tidak terduga, memupuk kerahasiaan dalam struktur organisasi, dan manipulasi angka statistik cedera. Semua itu malah menghasilkan masalah baru, menghambat ruang gerak praktisi ahli, keberagaman, kreatifitas, dan inovasi pekerja.
Dari sisi lain, jika pekerja menyimpang dari satu-satunya cara kerja yang telah ditentukan, akan dianggap sebagai “pelanggaran” yang harus diberikan sanksi atau peringatan. Padahal, “pelanggaran” ini bisa jadi merupakan adaptasi ketangguhan lokal (local adaptive resilience) yang diperlukan untuk menutup celah antara pekerjaan dalam bayangan (Work-As-Imagined/WAI) dan bagaimana pekerjaan akan diselesaikan secara nyata di lapangan (Work-As-Done/WAD).
Membuat prosedur kerja yang selamat tidaklah mudah, ada banyak jebakan kesalahan, terutama jika perencana kerja tidak pernah melakukan pekerjaan itu sendiri. Dengan hanya membayangkan proses pekerjaan (WAI), terjadi simplifikasi atau penyederhanan menggunakan asumsi dasar yang keliru. Padahal, pekerjaan ketika dilakukan (WAD) memiliki banyak sekali variasi dan penyesuaian. Pasti ada tukar guling (tradeoff) antara efisiensi dan ketelitian dalam mencapai tujuan, sebab sumber daya yang tersedia tidak pernah tidak terbatas.
Work-As-Done vs Work-As-Imagined
Ada perbedaan nyata antara pekerjaan dalam bayangan/benak/pikiran (work-as-imagined) dibandingkan pekerjaan di lapangan (work-as-done), juga termasuk pekerjaan dalam tulisan (work-as-prescribed) dan pekerjaan ketika disampaikan atau diceritakan (work-as-disclosed).
Ketika membayangkan bagaimana tim lain melakukan pekerjaan (work-as-imagined), ada banyak hal yang bisa membuat gambaran pekerjaan tersebut jadi keliru. Bisa jadi gambaran pekerjaan menjadi lebih sederhana, tidak lengkap, atau salah langkah, tergantung beberapa hal. Hal tersebut bisa terjadi karena dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu ketika melakukan pekerjaan tersebut, pemahaman atau pengetahuan terhadap tata cara pekerjaan itu, dan seberapa banyak mendengar mengenai cara melakukan pekerjaan. Pengalaman masa lalu tidak bisa diandalkan sepenuhnya, karena bisa jadi ada perubahan ketika pekerjaan dilakukaan saat ini (karena ada perbedaan tuntutan, sumber daya, hambatan, perubahan peralatan, dll).
Pekerjaan dalam versi tulisan (work-as-prescribed) juga sering tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Bisa jadi kurang detail atau mungkin juga terlalu banyak prasyarat yang tidak diperlukan ketika pekerjaan benar-benar diemban di lapangan. Padahal, sering kali bagaimana kinerja seseorang melakukan tugasnya dinilai berdasarkan tata cara tertulis pekerjaan -yang bisa jadi tidak sesuai. Terutama ketika hal buruk terjadi di tempat kerja.
Dan ketika menyampaikan atau menjelaskan cara kerja yang selamat (work-as-disclosed), bisa jadi tidak selengkap tata cara kerja yang tertulis (work-as-prescribed), disampaikan ringkasannya saja oleh pengawas pekerjaan berdasarkan hal-hal yang telah dilakukan sebelum-sebelumnya. Dan memang penyampaian detail pekerjaan tergantung banyak faktor, misalnya target audience. Pekerja yang baru mungkin akan dijelaskan pekerjaan secara lebih detail, tapi pekerja lama, bisa jadi hanya gambaran besarnya saja. Dan bisa saja cerita utuh pekerjaan sengaja tidak disampaikan pekerja untuk melindungi dari hal-hal yang dikhawatirkan bisa merugikan mereka (karena bisa jadi akan mengubah susunan tim kerja, jadwal pekerjaan, sumber daya yang disediakan, tambahan syarat keselamatan yang tidak diinginkan, dst).
Padahal,
ketika pekerjaan benar-benar dilaksanakan (work-as-done),
bisa jadi ada banyak adaptasi (penyesuaian, tukar guling, variasi, kompromi)
yang dilakukan agar tujuan pekerjaan bisa tercapai. Yang mungkin saja kesemua
itu tidak masuk ke dalam analisis risiko secara formal.
Variasi
pekerjaan (Shorrok, 2017) |
Karenanya, untuk memahami suatu pekerjaan dengan lebih baik, perlu dipertimbangkan keempat aspek tersebut, jangan hanya mengandalkan aspek tulisan (work-as-prescribed) ataupun informasi yang disampaikan pekerja (work-as-disclosed), apalagi hanya berdasarkan bayangan kita saja (work-as-imagined).
Mungkin saja, ketika terjadi kejadian kecelakaan, bukan pekerjaan yang terjadi (work-as-done) yang salah, tapi cara kita membayangkan pekerjaan (work-as-imagined) yang keliru, karena belum memahami banyak keruwetan ketika pekerjaan berlangsung di lapangan.
Ketersediaan dan Kualitas Prosedur
Ketika
berbicara mengenai prosedur atau peraturan keselamatan, ada dua hal yang patut
diperhatikan, ketersediaan dan kualitas prosedur. Mengenai ketersediaan, suatu
prosedur bisa saja tidak tersedia di lapangan atau tidak dapat diakses pekerja
untuk menjadi panduan bekerja selamat. Sedang mengenai kualitas prosedur,
prosedur yang tersedia pun, bisa jadi memiliki kualitas rendah, misalnya
ditulis dengan buruk, penuh ambigu atau rancu, tidak lengkap langkahnya, tidak
cukup detail penjelasannya, dan tidak praktis atau tidak dapat dilakukan di
lapangan.
Enam variasi kinerja vs prosedur (Sumber: Reason, 1997) |
James Reason membuat matriks yang menggambarkan enam variasi kinerja manusia terkait peraturan. Keenam perilaku tersebut yaitu: 1). Kepatuhan yang benar (correct compliance): kinerja benar (dan selamat) didapat karena mematuhi peraturan keselamatan yang sesuai; 2). Pelanggaran yang benar (correct violation): kinerja yang benar/sukses didapat melalui penyimpangan dari peraturan atau prosedur yang tidak tepat; 3). Improvisasi yang benar (correct improvisation): tindakan yang diambil karena tidak adanya prosedur yang sesuai, menghasilkan keselamatan operasi; 4). Misvention: tindakan menyimpang dari peraturan keselamatan yang sesuai menghasilkan kegagalan operasi; 5). Mispliance: tindakan mematuhi peraturan yang tidak sesuai atau tidak akurat, menghasilkan kegagalan operasi; dan 6) Mistake: tindakan yang diambil tidak memadai karena ketiadaan prosedur yang sesuai sehingga menghasilkan kegagalan operasi.
Dengan berkembangnya sistem kerja-kompleksitas interaksi pekerjaan, tidak jarang panduan kerja justru malah membahayakan pekerja. Pola pikir keselamatan yang baru harus bisa menerima fakta bahwa risiko yang kompleks penuh ketidakpastian (uncertainty) dan tidak bisa dikendalikan oleh peraturan atau prosedural yang membatasi pendayagunaan potensi kinerja manusia. Diperlukan keseimbangan antara peraturan tertulis dan keberanian mengambil risiko (risk appetite) serta keseimbangan antara pertimbangan professional dan kompetensi terhadap penilaian risiko di lapangan.
Contoh tragis hal itu bisa dilihat pada ledakan offshore platform atau anjungan lepas pantai Piper Alpha di Laut Utara (North Sea) tahun 1988. James Reason menyebut fenomena tersebut sebagai mistaken compliance (mispliance). Prosedur darurat yang ada mengharuskan pekerja berkumpul atau mustering di galley atau restoran akomodasi jika terdengar bunyi alarm tanda bahaya. Sayangnya, tempat itu justru merupakan jalur proyeksi atau line of fire bola api ledakan. Akibatnya fatal, hampir sebagian besar besar pekerja yang mematuhi prosedur itu, meninggal dunia.
Cynefin Framework
Salah satu kerangka kerja yang dapat digunakan untuk membantu mengenali kondisi atau domain dimana prosedur kerja dapat memberikan kontribusi positif dan kondisi atau domain dimana prosedur kerja memiliki keterbatasan yang harus diperhatikan yaitu kerangka Cynefin.
David Snowden membuat Cynefin dengan membagi sistem kerja menjadi 4 domain: clear, complicated, complex, dan chaotic. Karakteristik domain sistem yang jelas atau sederhana (clear) yaitu mudah untuk dipahami hubungan sebab-akibat atas fenomena atau perilaku yang terjadi di dalamnya. Dikarenakan semua orang mampu memahami pola yang ada, domain ini disebut known-knowns (tahu-mengetahui).
Sementara itu, di sistem yang rumit (complicated), hubungan antara sebab dan akibat tidak langsung dapat terlihat. Hanya para ahli yang mampu memahami sistem rumit menggunakan model, konsep, atau pendekatannya. Beberapa model dapat digunakan dalam satu sistem yang sama, bahkan beberapa model dapat saling bersaing menunjukkan keunggulan, misalnya kejelasan atau kemudahan dalam menggambarkan sistem atau pola kerja, keakuratan dalam memprediksi kejadian atau perilaku di masa depan, keluasan aplikasi/penggunaannya, atau bisa jadi keindahan tampilannya. Kualitas para ahli dalam menangani isu yang rumit terlihat dari kemampuannya untuk memilih model yang paling optimal untuk digunakan. Domain ini disebut juga know-unknowns (tahu-tidak tahu).
Sistem jelas (clear) dan rumit (complicated) dapat dikategorikan sebagai ordered (teratur), yang berarti bahwa para aktor atau agen di dalam sistem ini dibatasi oleh sistem. Sistem yang teratur bersifat deterministik (tidak acak, memberikan hasil yang sama) dan dapat direduksi atau kelola dengan seperangkat aturan.
Sedangkan sistem yang kompleks (complex) adalah sistem dimana hubungan antara sebab-akibatnya tidak diketahui karena tidak ada pengalaman sebelumnya. Hal itu mengakibatkan fenomena yang terjadi, tidak dapat diprediksi atau dimodelkan. Namun, observasi dapat dilakukan untuk melihat pola yang muncul (emerge) dari interaksi antara sistem dan agen-agen di dalamnya. Domain ini disebut unknown-unknowns (tidak tahu-tidak mengetahui).
Terakhir adalah sistem yang kacau (chaotic), dimana tidak ada hubungan antara sebab dan akibat. Agen yang ada di dalam sistem tidak dibatasi (constrain) oleh sistem dan perilakunya bersifat turbulen. Domain ini disebut unknowables (tidak diketahui). Sistem kompleks (complex) dan kacau (chaos) dikategorikan sebagai unordered (tidak teratur).
Sistem yang berbeda membutuhkan pendekatan
pengambilan keputusan dan solusi yang berbeda. Teknik manajemen yang
dikembangkan untuk mengelola sistem yang teratur (ordered) semisal scientific management
(Taylor dan Drucker), kemudian Business
Process Reengineering (Hammer), dan systems
thinking (Senge) sayangnya tidak mampu atau tidak sesuai jika diterapkan
pada masalah di domain yang kompleks (complex).
Kerangka Cynefin (Gary Wong, 2021) |
Para praktisi keselamatan perlu lebih bijak ketika melihat ketidakpatuhan terhadap prosedur, jangan terburu-buru menghakimi pekerja lapangan sebagai biang kerok isu keselamatan, menghakimi mereka ketika mengabaikan prosedur yang tidak aplikatif, dan mengontrol pekerja layaknya pesakitan dalam penjara.
Praktisi
keselamatan perlu melepas konsep bahwa prosedur bisa menyelesaikan segala macam
masalah atau silver bullet dalam mencapai
keselamatan, memahami variasi domain sistem kerja, dan melihat pekerja lapangan
dengan perspektif berbeda, sebagai sumber solusi yang adaptif dan penghubung antara
jurang ketidaksempurnaan prosedur dengan kondisi aktual lapangan.
---000---
Penyusun:
Syamsul Arifin,
SKM. MKKK. Cert IOSH.
Praktisi
K3 Migas
www.syamsularifin.org
Referensi:
· A.
J. Rae, D. J. Provan, D. E. Weber dan S. W. A. Dekker. 2018. Safety clutter: the accumulation and
persistence of ‘safety’ work that does not contribute to operational safety.
Jurnal IOSH: Policy and Practice in Health and Safety
· Dekker, Sidney. 2019. Foundations of safety science: a century of understanding accidents and
disasters. Taylor & Francis, CRC Press
· Dekker, Sidney. 2020. Safety after neoliberalism. Safety Science Volume 125
· Deloitte
Mining. 2009. Mining Safety - A business
imperative. Deloitte, Johannesburg
· Embrey, D. 2000. Preventing human error: developing a consensus led safety culture based
on best practice. Human Reliability Associates Ltd.
· Provan,
David J., David D. Woods, Sidney W.A. Dekker, Andrew J. Rae. 2020. Safety II
professionals: How resilience engineering can transform safety practice.
Reliability Engineering & System Safety Volume 195
· Reason,
James. 1997. Managing the risks of
organizational accidents. Ashgate Publishing Limited
· Shorrock,
Steven. 2017. The Varieties Of Human Work.
Diakses di: https://safetydifferently.com/the-varieties-of-human-work/
·
Sardone,
Giuseppe dan Gary S. Wong. 2010. Making
Sense of Safety: A Complexity-Based Approach to Safety Interventions.
Proceedings of the Association of Canadian Ergonomists 41st Annual Conference.
· Wong,
Gary. 2021. Safety management.
Diakses di: https://cynefin.io/wiki/Safety_management
·
Woods, David D.
2023. Resolving the Command–Adapt Paradox:
Guided Adaptability to Cope with Complexity. Springer Briefs in Safety
Managemen.
Artikel ini dimuat juga di majalah Katiga edisi Juli-Agustus 2024 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar