27 Juni 2024

Semua Kecelakaan dapat Dicegah, Benarkah?

Pandangan bahwa 'semua kecelakaan dapat dicegah' telah tersebar luas dan diamini bukan hanya oleh praktisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) tapi juga oleh pimpinan/manajemen perusahaan. Pandangan ini pada akhirnya menelurkan zero vision, visi nihil kecelakaan. Sesuatu yang menjadi perdebatan dalam kajian K3.

Pendapat bahwa ‘semua kecelakaan dapat dicegah’ muncul dari zaman pencerahan, sekitar abad-18, ketika Eropa mulai melepaskan cara berpikir kepercayaan tradisional dan memisahkan dogma agama. Pendapat ini merupakan seruan moral yang menginginkan tidak ada bahaya dan dorongan perbaikan untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik. Dipengaruhi juga oleh paham modernisme yang meyakini bahwa kita selalu bisa melakukan perbaikan berkelanjutan.

Namun, pandangan ‘semua kecelakaan dapat dicegah’ bisa jadi keliru karena beberapa hal.

Pertama, ada beda yang jelas antara niat baik dengan probabilitas statistik.

Kegagalan atau kecelakaan pasti terjadi di dalam dunia nyata yang kompleks dan memiliki sumber daya yang terbatas, baik secara empiris maupun teoritis, tidak akan pernah bisa nihil. Contoh justifikasi teoritis dan pembahasan bukti empiris studi kasusnya bisa dibaca detail pada kajian Man Made Disaster Theory, Normal Accident Theory, atau High Reliability Organization.

Kedua, paham ‘semua kecelakaan dapat dicegah’ bersandar kuat pada teori jadul Domino yang meyakini bahwa kita bisa menghindari kecelakaan kalau fokus/mengambil domino yang dapat menjatuhkan domino selanjutnya.

Pada awal pengembangannya, Heinrich -pengarang teori Domino- menekankan pentingnya faktor kondisi dan pelindung fisik, tapi kemudian ia menggeser fokus pada 'menghilangkan tindakan tidak selamat pekerja'. Jika kita bisa menghambat jatuhnya suatu domino, kecelakaan bisa kita cegah. Teori Domino Heinrich terdiri dari 3 pokok utama: kecelakaan terjadi secara linear/berurutan, ada rasio perbandingan yang tetap antar kategori kecelakaan, dan tindakan tidak selamat berkontribusi atas 88% kecelakaan kerja.

Kritik/studi ilmiah telah menunjukkan kesalahan pada ketiga hal tersebut. Para ahli keilmuan K3 meragukan dasar ilmiah teori ini. Sehingga validitas kesimpulan yang diambil dari teori ini tidak bisa kita pegang keandalannya.

Ketiga, ketika semua meyakini bahwa kecelakaan dapat dicegah, maka pimpinan dan pekerja mendapat tekanan di luar kemampuannya ketika mengalami kecelakaan.

Tekanan pada pimpinan karena dianggap tidak menjalankan kewajibannya (bisa terkena tuntutan hukum), jelek reputasinya (mempengaruhi promosi atau justru malah demosi), sedang tekanan pada pekerja karena dituduh tidak menunjukkan perilaku yang baik di tempat kerja, bahkan tidak jarang malah mendapatkan surat peringatan atau paling parah kehilangan pekerjaan setelah jadi korban kecelakaan. Konsekuensi dari tekanan semacam itu apa?

Dampaknya jelas, manipulasi data (bagi atasan) dan menyembunyikan kejadian kecelakaan (bagi bawahan). Komunikasi yang tidak akan pernah transparan dan akar permasalahan yang akan selalu dorman/tersembunyi dalam organisasi.

Keempat, setelah investigasi kecelakaan, kita umumnya mengambil kesimpulan yang sederhana: kecelakaan sederhana seperti itu seharusnya tidak perlu terjadi dan dapat dicegah.

Kesimpulan sederhana itu dipengaruhi kesalahan berpikir hindsight bias, kekeliruan dalam menarik kesimpulan karena sudah mengetahui hasil akhir suatu kejadian. Jika kita dihadapkan pada kondisi yang sama, dengan sumber daya dan keterbatasan yang serupa, dalam konteks motivasi yang sama, bisa jadi kita akan mengambil langkah yang tidak berbeda.

Di dalam proses investigasi, kita telah mengumpulkan semua detail informasi dari berbagai sumber/pihak, memiliki waktu yang berlebih untuk menganalisis data, mengevaluasi semua opsi pilihan langkah kerja dengan melibatkan semua ahli yang bisa dikumpulkan. Dan orang di kantor hanya bisa membayangkan bagaimana suatu pekerjaan dilakukan (work as imagined) dengan sangat berbeda ketika pekerjaan ketika benar-benar dilakukan (work as done).

Dalam pekerjaan nyata, hal itu semua tidak bisa dilakukan. Ada keterbatasan sumber daya manusia, alat, kondisi lingkungan yang tidak ideal, waktu, uang, dan tekanan jadwal yang bisa memberikan konteks berpikir yang berbeda.

Kelima, bukan bebas kecelakaan yang harusnya jadi tujuan kita, tapi fokuslah pada leading indikator yang mempengaruhi keselamatan sebagai pengukuran kinerja.

Keselamatan tradisional diukur oleh angka kecelakaan sebagai variabel dependen yang dipengaruhi oleh faktor lain. Jika yang jadi patokan adalah variabel yang tidak mampu kita kendalikan secara langsung, akan muncul rasa putus asa, tidak berdaya, baik ketika sebelum ada kecelakaan maupun setelahnya.

Variabel independen atau hal-hal yang mempengaruhi keselamatan yang bisa kita kontrol/kendalikanlah yang semestinya mempengaruhi baik atau buruknya kinerja. Ini yang seharusnya diukur, dipantau, dan diusahakan.

Sepatutnya kita bergeser dari melihat ketiadaan kecelakaan sebagai definisinya keselamatan. Sudah saatnya kita melihat kapasitas atau kemampuan organisasi dan pekerja untuk mencapai tujuan pekerjaan dengan sukses dalam berbagai kondisi yang variatif (the ability to succeed under varying condition) sebagai definisi baru keselamatan.

Terakhir, tidak mengapa ada kejadian (event), selama tidak ada yang celaka.

Salah satu perspektif berbeda yang diperkenalkan oleh pakar human performance, Dr Todd Conklin, menerangkan bahwa ‘safety is not the absence of accidents; safety is the presence of defenses’ (selamat bukan berarti tidak ada kecelakaan, selamat berarti adanya lapisan pertahanan dari bahaya).

Jika kita mengacu pada alur tahapan pengendalian kecelakaan, ada 4 fase yaitu prevention (pencegahan), preparedness (persiapan), response (penanganan), dan recovery (pemulihan). Setiap fase membutuhkan kapasitas atau kemampuan pelaksanaan yang memadai.

Ketiadaan kejadian/kecelakan belum tentu menunjukkan bagusnya suatu organisasi dalam melakukan program pencegahan dan persiapan. Bisa jadi ada banyak bahaya di tempat kerja, tersembunyi dalam organisasi (kegagalan laten). Kesalahan desain, kekeliruan pengambilan keputusan dan perencanaan tidak serta merta langsung mengakibatkan celaka.

Pada momen yang tepat, kombinasi memadai antara kegagalan laten dan kegagalan aktif pekerja (lelah, kelebihan beban kerja, teralihnya perhatian/fokus, lupa, dst) bisa mengakibatkan kecelakaan atau konsekuensi yang tidak diinginkan.

Organisasi yang mengalami kecelakaan belum tentu perusahaan yang buruk. Karena bisa saja memiliki penanganan (response) yang baik sehingga tidak ada korban cedera atau konsekuensi yang berarti, dan kecelakaan tidak bertambah besar serta mampu memulihkan (recovery) proses produksi ke operasional normal dengan cepat.

Jadi, jika suatu saat anda mendengar, membaca, atau mengetahui ada organisasi yang mengalami kecelakaan, jangan buru-buru memberikan cap buruk pada kinerja keselamatan mereka. Ingat, keselamatan bukan berarti tidak adanya kecelakaan; keselamatan adalah adanya lapisan pelindung bahaya (dimilikinya kapasitas untuk berbuat selamat), sehingga bahaya dapat dikelola untuk menghindari kejadian (event). Kalaupun terjadi kecelakaan, tidak akan ter-eskalasi atau cepat ditangani sehingga terhindar dari kerugian yang serius dan cepat kembali ke kondisi normal operasi.

 


---000---


Referensi:

·       Larry Wilson. 2005. All Injuries Cannot Be Prevented. OHS online magazine

·       Sidney Dekker. 2014. The Field Guide to Understanding 'Human Error'

·       Sidney Dekker. 2015. Safety Differently. Human Factors for a New Era

·       Sidney Dekker. 2019. Foundations of Safety Science

·       Steven Shorrock. 2017. The Varieties of Human Work. Safety Differently website

·       Erik Hollnagel. 2018. Safety-II in Practice.

 

 

Penyusun:

Syamsul Arifin, SKM. MKKK. Cert IOSH.

Praktisi K3 Migas dan mahasiswa S3 ilmu manajemen

www.syamsularifin.org


Artikel ini dimuat juga di Majalah BusinessAsia Indonesia edisi Feb-Mar 2024


Postingan terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar