Ada tiga aspek yang memberikan dampak
terhadap keselamatan dan kesehatan di tempat kerja yaitu faktor individu,
pekerjaan, dan organisasi. Ketiga hal itu dapat disebut juga dengan Performance Influencing Factors (PIF)
atau faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja manusia.
Pertama, faktor individu, contohnya
adalah kondisi dan kapasitas fisik pekerja; kelelahan (akut dari situasi
sementara dan kronis); stres/moral; beban kerja berlebih (overload) atau kurang beban kerja (underload); kompetensi untuk menangani kondisi kerja; dan motivasi
vs prioritas hal lain.
Kedua, faktor pekerjaan, misalnya berupa
kejelasan tanda, signal, instruksi, atau informasi lain; interface
peralatan/sistem (labelling, alarms,
error avoidance/tolerance); tingkat kerumitan/kompleksitas pekerjaan; tipe
pekerjaan: rutin atau non-rutin; perhatian yang terbagi; prosedur tidak memadai
atau tidak sesuai; persiapan pelaksanaan pekerjaan (cth: surat izin kerja,
analisis risiko, inspeksi, dst); ketersediaan waktu vs waktu yang dibutuhkan;
kesesuaian alat kerja dengan pekerjaan; kondisi lingkungan kerja (kebisingan,
panas, pencahayaan, ventilasi, kelapangan ruangan, dll).
Terakhir, faktor organisasi, diantara
contohnya yaitu tekanan target kerja (produksi vs keselamatan); gaya dan
tingkat pengawasan atau kepemimpinan; komunikasi, antar sesama rekan kerja,
pengawas, kontraktor, atau yang lainnya; manning
level (keterisian posisi dalam organisasi); peer pressure (tekanan dari rekan kerja); kejelasan peran dan
tanggung jawab; konsistensi konsekuensi jika gagal mengikuti prosedur/peraturan;
efektifitas pembelajaran organisasi (learning
from experiences); dan budaya organisasi.
Sebuah pekerjaan harus sesuai dengan
prinsip-prinsip ergonomi yang memperhatikan keterbatasan dan kekuatan manusia.
Ketidaksesuaian antara kebutuhan pekerjaan dan kapasitas manusia dapat
menyebabkan kesalahan.
Pada faktor individu dapat terjadi
kesalahan aktif (active error),
sedang di faktor pekerjaan dan organisasi dapat terjadi kesalahan pasif (passive error) sehingga membuat jebakan
kesalahan (error trap) -beberapa ahli
menyebutnya juga sebagai kondisi laten (latent
condition) karena ia tersembunyi di dalam pekerjaan atau organisasi, tidak
serta merta menimbulkan kegagalan/kecelakaan, ia baru terlihat ke permukaan menjadi
kegagalan serius jika bertemu dengan kesalahan aktif.
Jebakan kesalahan (error trap) sebisa mungkin harus diidentifikasi sebelum terjadi
kegagalan jika ingin melakukan langkah proaktif pencegahan kecelakaan. Pekerja
harus mengidentifikasi, menganalisis, dan mendiskusikan jebakan kesalahan yang
mungkin terjadi serta mitigasinya sebelum memulai pekerjaan.
Banyak contoh jebakan kesalahan (error trap), diantaranya misalnya langkah
kerja di dalam prosedur yang tidak dapat dipenuhi atau tidak efisien jika
dilakukan di lapangan; langkah kerja terlalu kompleks atau sulit untuk
dimengerti; prosedur tidak memadai, kompleks, atau tidak sesuai; melakukan
banyak tugas dalam satu waktu (multi-tasking);
situasi kerja yang tidak biasa/non-rutin, jarang dialami atau baru dilakukan;
bentuk alat atau desain peralatan yang membingungkan (contohnya bentuk valve
terlihat sama); tanda, signal, atau instruksi kerja yang tidak jelas; antarmuka
(interface) peralatan, label, panel
kontrol, atau penanda alarm yang sulit dipahami; peralatan yang sesuai tidak
tersedia atau tidak dipergunakan; pengawas pekerjaan tidak memadai; langkah
kerja yang berulang, sepele/terlalu mudah, atau membosankan; kondisi kerja yang
sulit (bising, panas, sempit, kurang pencahayaan, ventilasi, kesulitan akses);
terlalu mengandalkan pada komunikasi yang baik antar rekan kerja atau ke
pengawas; terlalu mengandalkan pada identifikasi bahaya atau ada perubahan yang
baru muncul saat bekerja; jumlah pekerja yang kurang (insufficient manning); waktu kerja yang kurang; potensi gangguan
atau interupsi; kelelahan; dan tidak memadainya kompetensi pekerja.
Operasional organisasi/perusahaan saat ini telah berkembang menjadi semakin kompleks dalam konteks sistem sosio-teknikal (sociotechnical system). Sehingga cara memahami kegagalan/kecelakaan pasca kejadian yang menggunakan perspektif simpel linear berpotensi membuat kita kehilangan banyak pembelajaran lebih banyak. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan investigasi kecelakaan agar bisa mengoptimalkan pembelajaran.
Catatan:
perspektif simpel linear menyatakan
bahwa kecelakaan adalah puncak dari urutan kejadian-kejadian yang saling
berurutan. Contoh model linier
sederhana misalnya teori domino dan loss causation
model. Perspektif kecelakaan lainnya adalah complex linear (energy
damage, time sequence, epidemiologi, Swiss
cheese) dan complex non-linear (systems-theoretic accident model and process/STAMP,
functional resonance accident model/FRAM).
Investigasi
kecelakaan tidak boleh berhenti pada kesalahan aktif (active error)
yang dilakukan pekerja lapangan. Kesalahan aktif pekerja bukanlah penyebab
kecelakaan, ia merupakan penanda dari masalah yang lebih besar di dalam sistem
kerja. Investigasi kecelakaan harus mampu mengungkap jebakan kesalahan (error trap).
Investigasi
kecelakaan harus bisa memberikan pembelajaran organisasi dengan memberikan
gambaran kejadian yang mendetail sehingga pembaca laporan investigasi dapat
memahami konteks dan situasi kejadian dengan baik. Termasuk dapat memberikan
informasi mengenai tantangan, hambatan, keterbatasan (constrain), tarikan kepentingan (conflict of interest), tuntutan/tekanan yang dialami pekerja
lapangan serta pengetahuan informasi dan pengalaman yang dimiliki mereka saat
itu. Sehingga pihak luar yang membaca laporan dapat memahami mengapa tindakan
atau keputusan yang diambil oleh pekerja lapangan tampak masuk akal bagi mereka
ketika itu. Hal itu disebut sebagai pemahaman terhadap local rationality.
Investigasi
kecelakaan juga harus dapat mencakup analisis perilaku atau pengambilan keputusan
dari beberapa orang, bukan hanya pekerja front
line di lapangan yang melakukan active
error, tapi juga menganalisis perilaku atau pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh pekerja yang mengawasi pekerjaan, memberikan dukungan
operasional atau teknis, mendesain peralatan, membuat jadwal rencana/program
kerja, dan pengambil keputusan strategis yang dapat mempengaruhi pekerja
lapangan.
Pekerja
lapangan yang melakukan kesalahan aktif disebut sebagai sharp end worker, sedang pekerja yang disebutkan belakangan (membuat latent condition) di atas disebut
sebagai blunt end worker.
Keselamatan
adalah karakter yang baru muncul (emergent
property) dari sistem sosio-teknikal kompleks yang dipengaruhi oleh
keputusan dari banyak pihak –pembuat regulasi, manajer, engineer, planner, dst-
bukan hanya dari pekerja lapangan saja. Maka dari itu, peran, pengaruh, dan
hubungan yang berinteraksi antar aktor pada semua tingkat di dalam sistem
sosioteknikal perlu diperhatikan.
Terakhir,
rekomendasi investigasi kecelakaan harus lebih banyak berfokus pada perbaikan
di aspek rekayasa teknik (engineering
control) ketimbang fokus pada perbaikan administratif dan pengamatan
perilaku/kepatuhan pekerja. Kita tidak bisa mengubah karakteristik sifat bawaan
manusiawi, tapi kita bisa mengubah kondisi lingkungan kerja yang akhirnya akan mengubah/mempengaruhi
perilaku pekerja, seperti kata Profesor James Reason, we cannot change the human condition, but we can change the conditions
under which people work.
---000---
Penyusun:
Syamsul Arifin, SKM. MKKK. Grad IOSH.
Praktisi K3LH.
Referensi:
Society
of Petroleum Engineers (SPE). 2021. White
paper: Are you implementing Human Factors/Human Performance as per the industry
guidance? SPE Human Factors Technical Sections
Health
and Safety Executive (HSE) UK. 1999. Reducing
error and influencing behaviour. The Stationery Office
Tidak ada komentar:
Posting Komentar