Pandangan
konvensional keselamatan beranggapan bahwa (perilaku) manusia merupakan sumber bahaya
di tempat kerja penyebab kecelakaan sehingga perlu dikendalikan -humans are a problem to control.
Jika kita mau mengikuti tangga hirarki pencegahan (hierarchy of control), maka solusi yang paling logis dari premis di atas secara berurutan dari yang paling efektif ke yang paling tidak efektif adalah berusaha menghilangkan (elimination) sumber penyebab problem, menggantinya (substitution) dengan robot misalnya, rekayasa teknis (engineering control), pengendalian administratif (prosedur kerja, rotasi pekerja, pelatihan), dan terakhir alat pelindung diri (personal protective equipment).
Dengan euforia label industri 4.0, digitalisasi, kecerdasan buatan (artificial intelligence), big data, cloud computing, Internet of Thing (IoT), augmented reality, dst, maka ide untuk mengganti manusia dengan robot, jadi semakin menarik.
Namun pertanyaan lanjutannya adalah apakah penggantian manusia dengan teknologi, otomatisasi, atau robotik memang bisa menjadikan pekerjaan menjadi semakin selamat? Dengan beralasan bahwa jika suatu pekerjaan bisa diotomatisasi, maka manusia tidak perlu melakukan hal tersebut, dan jika pekerjaan tidak dilakukan oleh manusia, maka tidak akan ada kemungkinan kesalahan manusia (human error).
Yang pertama harus sama-sama dipahami bahwa implementasi atau penggunaan teknologi baru memang akan menambah kapasitas proses-produksi-efektifitas-efisiensi, namun di sisi lain juga ada tambahan kompleksitas di dalam sistem sosioteknikal pekerjaan.
Otomatisasi tidak serta merta akan menghilangkan kesalahan manusia, hanya saja bentuk kesalahan yang menjadi akan menjadi berbeda karena pekerjaan telah berubah ke dalam sistem otomatis dibandingkan sebelumnya dengan sistem manual.
Perubahan proses pekerjaan dengan adanya otomatisasi akan mengubah pola interaksi hubungan antara manusia-mesin. Meskipun beban kerja sudah berubah (manusia menjadi lebih sedikit porsi pekerjaan dan mesin menjadi semakin banyak mengambil alih porsi pekerjaan), tetap ada interaksi antara manusia dengan teknologi. Dan interface/tampilan yang menghubungkan interaksi antara manusia dan mesin umumnya berubah dengan drastis.
Pergeseran proses kerja menjadi otomatisasi mentransformasi juga peran operator lapangan yang tadinya mengoperasikan alat secara fisik menjadi pengawas ruang kendali (control room), sehingga posisi baru ini memunculkan juga kerentanan/vulnerability dan peluang kesalahan/error yang baru.
Akan hadir pula isu beban data yang berlebihan (data overload) pada aspek monitoring sistem. Alih-alih menghilangkan beban kognitif dari pekerja, otomatisasi justru malah menambah beban baru: tipe pengawasan yang berbeda dan tugas tambahan di dalam ingatan/memori otak pekerja. Kemampuan manusia untuk menganalisis seluruh data yang dihasilkan oleh proses otomatis tidak sepadan dengan kemampuan sistem buatan dalam mengumpulkan, mengubah, dan menyajikan data.
Memang, dalam banyak hal, perubahan teknologi akan memberikan tambahan manfaat bagi manusia, contohnya penggunaan alat bantu komputer sehingga perhitungan bisa menjadi lebih cepat, contoh lainnya pada penggunaan alat angka-angkut yang dapat meningkatkan beban angkut sehingga menghilangkan pekerjaan manual pada manusia, dst. Namun perlu diingat, akan ada bahaya baru yang muncul disamping manfaat baru yang bisa dipetik. Hal ini yang perlu kita identifikasi dan kelola dengan baik.
Evolusi Ilmu Keselamatan Kerja
Pembahasan di atas sesuai dengan pergeseran atau evolusi yang terjadi di dalam ilmu keselamatan kerja. Telah terjadi perubahan pada aspek teori dan aplikasi/penerapannya. Secara sederhana, perubahan ini dapat dibagi menjadi empat era yaitu teknologi, ergonomi (human factor), manajemen keselamatan (safety management), dan cognitive complexity.
Pada era teknologi, terjadi perkembangan teknik, perbaikan desain, standar alat kerja, dan mesin produksi. Manusia dianggap sebagai bagian dari komponen mesin produksi. Masa ini dapat disebut dengan istilah Safety-I.
Di masa perkembangan ilmu ergonomi atau human factor, awalnya manusia dianggap sebagai bagian dari potensi bahaya, sehingga perlu dikendalikan. Berkembang rule-based safety culture dengan prinsip dasar agar pekerja mengikuti peraturan atau metode kerja supaya selamat. Kemudian tumbuh menguat pula perspektif ergonomi yang memperhatikan keterbatasan (dan kelebihan) manusia: desain peralatan yang fit atau sesuai dengan pekerja.
Fase selanjutnya adalah manajemen keselamatan, dengan pendekatan yang dipakai adalah system engineering. Manusia dianggap sebagai pahlawan karena mampu beradaptasi dengan sistem kerja karena memiliki potensi fleksibilitas dan resilience yang dibutuhkan untuk dapat berproduksi secara sukses (dan selamat). Masa ini dapat disebut juga dengan istilah Safety-II.
Terakhir adalah era cognitive complexity, yang melihat sistem kerja sebagai sistem kompleks yang adaptif (complex adaptive system) dimana keselamatan dianggap sebagai sebuah karakter yang muncul (emergent) dari sebuah sistem yang kompleks.
Di sistem yang kompleks, elemen sistem-proses-dan hubungan yang muncul dari interaksi antara manusia, teknologi, dan pekerjaan menghasilkan suatu hal yang baru muncul (emergent), sehingga tidak bisa dikenali jika diobservasi secara terpisah.
Ada suatu aksioma yang juga perlu dipahami, bahwa semua cognitive systems (manusia, mesin, atau kombinasi keduanya) memiliki keterbatasan. Semua cognitive systems yang memiliki keterbatasan, rentan terhadap kesalahan (fallible).
Sehingga, permasalahan sebenarnya bukan terletak pada kemungkinan gagal (fallibility) atau keterbatasan sumber daya (finite resource), tapi pada pengembangan strategi ketika mengelola keseimbangan antara berbagai kepentingan yang berlawan (conflict goal trade-off) karena ada kebutuhan untuk terus bertindak, bergerak, dan berproduksi dalam dunia yang terbatas, dinamis, penuh konflik, dan penuh ketidakpastian.
Dalam pandangan kontemporer keselamatan, kita harus bisa menerima paradoks bahwa secara bersamaan, manusia adalah sumber kesuksesan dan kegagalan saat membuat, mengoperasikan, dan memodifikasi sistem yang dibuatnya.
Manusia,
sebagai agen yang adaptif-pembelajar-kolaboratif-bertanggung jawab-kreatif bisa
membuat keberhasilan di tengah keterbatasan sumber daya dan tekanan kepentingan
dari berbagai tingkat sosio-teknikal dengan cara melakukan pembelajaran dan
adaptasi atas informasi yang tersedia untuk mencapai kesuksesan dan keselamatan.
---000---
Penyusun:
Syamsul
Arifin, SKM. MKKK. Grad IOSH.
Praktisi K3
dan mahasiswa S3 manajemen UB
Referensi:
David D. Woods dan Erik Hollnagel. 2006. Joint Cognitive Systems: Patterns in Cognitive Systems Engineering. CRC Press
Dekker, Sidney. 2014. Employees A Problem to Control or Solution to Harness? Majalah Professional Safety
Dekker, Sidney. 2015. Safety Differently: Human Factors for a New Era. CRC Press
National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH). 2015. Hierarchy of Controls. Website Centers for Disease Control (CDC)
Wong, Gary. 2015. Emergence Of Safety-III. Website Safety Differently.
Tulisan ini dimuat juga di Majalah Isafety, edisi Juli 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar