Heraclitus, filsuf Yunani kuno yang hidup 500 tahun sebelum masehi, pernah mengatakan “the only constant in life is change” (satu-satunya hal yang tidak pernah berubah di dunia ini adalah perubahan itu sendiri).
Begitu juga dengan ilmu keselamatan kerja. Terjadi perubahan atau evolusi teori dan aplikasinya, yang secara sederhana dapat dibagi menjadi 4 era: teknologi, human factor, safety management, dan cognitive complexity.
Pada era teknologi, terjadi perkembangan teknik, perbaikan desain, standar alat kerja, dan mesin produksi. Manusia dianggap sebagai bagian dari komponen mesin produksi. Masa ini dapat disebut dengan istilah Safety-I.
Pada era human factor, manusia dianggap sebagai bagian dari potensi bahaya, sehingga perlu dikendalikan. Tumbuh menguat perspektif ergonomi yang memperhatikan keterbatasan (dan kelebihan) manusia: desain peralatan yang fit atau sesuai dengan pekerja. Berkembang rule-based safety culture dengan prinsip dasar agar pekerja mengikuti peraturan/metode kerja agar selamat.
Era selanjutnya adalah safety management, dengan pendekatan yang dipakai adalah system engineering, manusia dianggap sebagai pahlawan karena mampu beradaptasi dengan sistem kerja karena memiliki potensi fleksibilitas dan resilience yang dibutuhkan untuk dapat berproduksi secara sukses (dan selamat). Masa ini dapat disebut juga dengan istilah Safety-II.
Terakhir adalah era cognitive complexity, yang melihat sistem kerja sebagai sistem kompleks yang adaptif (complex adaptive system) dimana keselamatan, dianggap sebagai sebuah karakter yang muncul (emergent) dari sebuah sistem yang kompleks.
Di sistem yang kompleks, elemen sistem-proses-dan hubungan yang muncul dari interaksi antara manusia, teknologi, dan pekerjaan menghasilkan suatu hal yang muncul/baru ada (emergent), yang tidak bisa dikenali jika diobservasi secara terpisah.
Perubahan dalam Memahami Manusia
Paradigma yang paling umum dan terkenal luas dalam mempelajari perilaku manusia adalah kerangka S-O-R (Stimulus-Organism-Response) yang menjelaskan mekanisme/proses bagaimana suatu makhluk hidup merespon stimulus.
Dalam pandangan S-O-R, manusia dianggap sebagai Information Processing System (IPS) atau dilihat dari sisi psikologis, mekanismenya mirip komputasi komputer, ada hubungan sebab-akibat antara input sensoris, perilaku motoris, dan kondisi mental.
Saat ini, S-O-R sudah dianggap tidak lagi sesuai dengan prinsip psikologi modern, walaupun sayangnya, prinsip dasarnya masih dapat dengan mudah kita temukan pada banyak model human information processing dan decision making.
Lebih dari 100 tahun lalu, Dewey (1896) sudah menemukan kelemahan model S-O-R. dia mengatakan kalau kita tidak bisa memahami perilaku manusia tanpa mempertimbangkan konteks atau situasi dimana perilaku tersebut terjadi.
Socio-Technical System
Sistem sosio-teknikal dalam manajemen risiko (risk management) mencakup beberapa tingkatan. Mulai dari legislator, manajer, perencana pekerjaan, hingga ke operator.
Di tingkat paling atas, masyarakat mengendalikan keselamatan kerja melalui sistem peraturan/undang-undang. Keselamatan kerja dipandang sebagai prioritas tertinggi, namun jumlah tenaga kerja produktif/tingkat pengangguran dan perekonomian juga masuk menjadi pertimbangan.
Selanjutnya di tingkat pembuat kebijakan (menteri), asosiasi industri, serikat pekerja, dan organisasi terkait. Di tingkat ini, perundangan diinterpretasikan dan diimplementasikan dalam bentuk peraturan untuk mengendalikan aktifitas pekerjaan, tempat kerja, dan bagi pekerja spesifik/tertentu. Peraturan disesuaikan dengan konteks perusahaan dengan mempertimbangkan proses kerja dan peralatan yang terlibat.
Di tingkat paling bawah, ada desain proses produksi,
peralatan, pengembangan standard
operating procedure untuk kondisi pekerjaan yang relevan.
Sistem ini ditekan oleh perkembangan teknologi yang pesat, peningkatan persaingan yang agresif dan kompetitif, perubahan regulasi/peraturan, dan tekanan sosial masyarakat.
Pendekatan tradisional dalam melakukan manajemen risiko dilakukan dengan memecah socio-technical system menjadi beberapa elemen dan mempelajarinya secara terpisah. Hal itu akan menghasilkan analisis yang aneh dan tidak akan sesuai dengan kenyataan.
Modelling risk management harus dilakukan secara lintas disiplin ilmu, dengan pertimbangan bahwa pengelolaan risiko melibatkan semua tingkat hubungan sosial pada jenis bahaya tertentu.
Analisis perilaku yang berfokus pada urutan langkah pelaksanaan dengan penyimpangan sesekali (human error) harus diganti dengan model yang menunjukkan mekanisme pembentukan perilaku secara kesisteman dengan memperhatikan keterbatasan (constrain), batasan kinerja yang dapat diterima (boundaries of acceptable performance) dan kriteria subyektif sebagai panduan adaptasi terhadap perubahan.
Paradigma ini dapat juga dipakai untuk investigasi kecelakaan, karena bisa memahami interaksi dan pengaruh dari keputusan yang diambil oleh beberapa pihak (pada lapisan sosial yang berbeda) dalam konteks normal pekerjaannya.
Kesuksesan komersial di dalam lingkungan yang kompetitif memerlukan eksploitasi untuk mencari keuntungan/mengurangi biaya produksi sehingga akan “bermain di ujung/pinggir lapangan”, mencoba mengeksplorasi batasan normal atau praktik umum. Namun tindakan ini pada gilirannya akan meningkatkan risiko kegagalan karena melewati batasan umum keselamatan.
Ada suatu aksioma yang perlu juga dipahami, bahwa semua cognitive systems (manusia, mesin, atau kombinasi keduanya) memiliki keterbatasan. Semua cognitive systems yang memiliki keterbatasan, rentan terhadap kesalahan (fallible).
Sehingga, permasalahan sebenarnya bukan terletak pada kemungkinan gagal (fallibility) atau keterbatasan sumber dayanya (finite resource), tapi pada pengembangan strategi ketika mengelola keseimbangan antara berbagai kepentingan yang berlawan (conflict goal tradeoff) karena ada kebutuhan untuk bertindak/terus bergerak/berproduksi dalam dunia yang terbatas, dinamis, penuh konflik, dan penuh ketidakpastian.
Dalam perspektif kesisteman, ada interaksi antara lintas elemen sistem yang kompleks.
Di sisi sharp end, ada para praktisi seperti pilot, teknisi, dokter, operator proses produksi yang berinteraksi langsung dengan proses kerja/lingkungan kerja yang berbahaya. Mereka sukses membuat sistem kerja berproduksi mencapai tujuan organisasi dengan selamat bukan karena mematuhi prosedur dengan “mata tertutup” (tanpa dipikir lagi atau langsung mengikuti semua langkah di prosedur secara 100% sama).
Kesuksesan operasional oleh sharp end diperoleh karena mereka berhasil menyelesaikan konflik kepentingan, mengantisipasi bahaya, mengakomodir perbedaan/variasi atau perubahan dan kejutan di lapangan, menyiasati keterbatasan, mengatasi perbedaan antara rencana di atas kertas dengan kondisi kerja, mendeteksi dan memperbaiki miscommunication (kekeliruan komunikasi) dan mis-assessment (kesalahan penilaian) selama proses pekerjaan. Intinya, beradaptasi dengan kondisi lokal (local adaptation).
Di sisi blunt end, ada regulator, administrator, pengambil kebijakan, pemasok teknologi/mesin, manajemen organisasi yang mengelola sumber daya, keterbatasan, dan berbagai kepentingan. Mereka berupaya untuk mencari kesimbangan antara keuntungan dan tuntutan praktisi sharp end dalam mencapai tujuan organisasi.
Perilaku New Normal dalam Konteks Socio-Technical
Beralih ke perilaku terkait COVID-19. Ketika pandemi pertama kali muncul di Wuhan pada akhir Desember 2019. Penyakit Corona Virus Disease (COVID-19) oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) ditetapkan oleh WHO (World Health Organization) sebagai pandemi pada 11 Maret 2020.
Di level regulator, ada Keputusan Presiden No.12/2020 tentang penetapan bencana non-alam penyebaran Covid-19 sebagai bencana nasional; Peraturan Pemerintah No.21/2O2O tentang pembatasan sosial berskala besar dalam rangka percepatan penanganan COVID-19.
Didukung oleh turunan peraturan dari lintas kementerian seperti Kepmenkes No.104/2020, Permenhub No.25/2020, SE Menaker No.7/2020, dan SE Mendikbud 4/2020. Juga lembaga independen semisal Fatwa MUI No.14/2020 tentang penyelenggaran ibadah dalam situasi terjadi wabah COVID-19 dan contoh regulator lokal seperti Pergub DKI Jakarta No.33/2020.
Di level di bawahnya, ada lembaga independen, asosiasi profesi-akademisi, komunitas, lembaga swadaya masyarakat, kantor berita yang memberikan edukasi-sosialisasi-kampanye, panduan bekerja selamat, mengorganisir webinar, media promosi, meningkatkan intensitas pemberitaan, dan menggalang donasi.
Di tingkat perusahaan, dibentuk satgas internal perusahaan, dikembangkan dan sosialisasi penegakan standard operating procedure, mengendalian administratif melalui pembagian jadwal kerja, Work from Home (WFH), pelaksanaan disinfektasi, dll.
Pada internal individu, ada akses terhadap informasi yang bisa berdampak positif (dan negatif), kondisi keterbatasan (constrain) yang melekat semisal job security, keterbatasan dana darurat, kebutuhan atau kelapangan hidup, hambatan physical distancing, penyediaan masker, dll (ada goal conflict antara aspek kesehatan dan ekonomi)
Hal itu semua juga berinteraksi dengan aspek infrastruktur dan prasarana yang tersedia semisal ketersediaan air bersih, wastafel, hand sanitizer, pembatas ruangan, papan peringatan, Alat Pelindung Diri (APD), dll.
Perbedaan antara keputusan yang di ambil di level regulator dapat menyebabkan dinamika kepatuhan individu dalam melakukan praktik personal hygine, physical distancing, dan mematuhi anjuran kesehatan lainnya.
Amerika misalnya, Presiden Trump meremehkan urgensi COVID-19 dengan mengatakan bahwa masih lebih parah musim flu tahunan, akan hilang ketika musim panas, memiliki pendapat berbeda dengan pandangan ahli kesehatan, menyebarkan opini pribadi sehingga membuat hoax tentang obat COVID-19 hidroklorin, sampai warganya ada yang minum disinfektan.
Belum cukup sampai situ, ia juga menyalahkan WHO, Cina, bahkan Presiden sebelumnya, berbeda pendapat pula dengan Gubernur terkait lock down dan menyarankan membuka ekonomi terlalu cepat, akibatnya fatal. Amerika memiliki kasus COVID-19 tertinggi di dunia (2,3 juta dari 9 juta kasus global) dan angka kematian mencapai 120 ribu kematian dari 479 ribu kematian global.
Swedia hampir serupa, mereka tidak menerapkan perintah stay at home, pemberlakuan social distancing, atau pemakaian masker, bahkan sekolah SMP ke bawah, cafe, dan restaurant masih diperbolehkan tetap buka. Swedia hanya mengandalkan kesukarelaan penduduk untuk mematuhi anjuran kesehatan (meskipun ada larangan kumpul > 50 orang).
Akibatnya juga serius. Angka kematian di Swedia mencapai 4 ribu, lebih besar dari gabungan negara Nordik tetangganya, Denmark, Finlandia, dan Norwegia, yang lebih ketat kebijakan penanganan COVID-19, sehingga saat ini negara tetangga itu menutup perbatasannya untuk Swedia.
Negara yang memiliki kebijakan penanganan yang berhasil misalnya New Zealand, saat ini sudah bebas COVID-19 dengan hanya 22 kematian dan 25 ribu kasus karena penerapan lock down yang menyeluruh disamping sang Perdana Menteri, Jacinda Ardern, melakukan komunikasi dengan sangat baik ketika prosesnya berlangsung.
Korea Selatan juga sukses menangani COVID-19 dengan melakukan pengetesan yang masif (sampai 10 ribu orang per hari), contact tracking, isolasi penderita, pemanfaatan Information and Communications Technology (ICT) untuk pengendalian. Diperlukan hanya 20 hari untuk menekan grafik kasus COVID-19 supaya rata tanpa perlu menerapkan pembatasan sosial.
Di samping itu ada Taiwan, yang mengaplikasikan pribahasa “sedia payung sebelum hujan” dengan adanya lembaga khusus penanganan wabah sejak SARS 2003, pendataan orang berisiko tinggi/rawan dari rumah sakit sebelum virus masuk negara, melakukan monitor pergerakan sosmed dengan memberikan penjelasan resmi jika ada hoax/misinformasi, memproduksi jutaan masker dengan memakai patokan harga, pemberian kuota, dan distribusi memanfaatkan kartu asuransi kesehatan sehingga tidak pernah ada lonjakan harga dan kelangkaan masker.
Perilaku dan persepsi individu terkait COVID-19 dipengaruhi banyak hal, sekali lagi, perlu kita perhatikan konteks dimana individu itu berada dan lingkungan sekelilingnya, dan juga interaksi di dalam sistem sosio-teknikal.
Di dalam sistem sosio-teknikal juga ada dinamika konflik kepentingan, keterbatasan, dan ketidakpastian. Misalnya manusia tetap perlu makan, aktifitas perekonomian perlu bergulir, namun aspek kesehatan harus terus terjaga, sehingga ada adaptasi dan proses pembelajaran yang sangat intens saat ini.
Belajar/mengadopsi perilaku baru memang ganjil, dan terasa tidak wajar di awal. Tapi itulah yang terjadi ketika kita belajar/melakukan perilaku baru. Jika terus ditekan dengan adanya dukungan dari regulator, lembaga independen, komunitas masyarakat, manajemen perusahaan, ketersediaan sarana-infrastruktur, akan membantu mempercepat adaptasi dan pembelajaran individu.
Jalan menuju kesuksesan di era new normal dimulai dengan menyadari sebuah paradoks bahwa secara bersamaan, manusia adalah sumber kesuksesan dan kegagalan disaat kita membuat, mengoperasikan, dan memodifikasi sistem yang kita buat.
Manusia, sebagai agen yang adaptif-pembelajar-kolaboratif-bertanggung jawab-kreatif bisa membuat keberhasilan di tengah keterbatasan sumber daya dan tekanan kepentingan dari berbagai tingkat sosio-teknikal dengan cara melakukan pembelajaran dan adaptasi atas informasi yang tersedia untuk mencapai berbagai tujuan hidup.
---000---
Penyusun:
Syamsul Arifin, SKM. MKKK.
Praktisi K3LH
www.syamsularifin.org
Bagian 1, dimuat di Majalah Isafety, edisi Agustus 2020 |
Bagian 2, dimuat di Majalah Isafety, edisi Oktober 2020 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar